Selasa, 15 Juni 2010

Rabu, 24 Maret 2010

sirip

orGAN GERAK (SIRIP)

Ikan seperti pada hewan lain, melakukan gerakan dengan dukungan alat gerak. Pada ikan, alat gerak yang utama dalam melakukan manuver di dalam air adalah sirip. Sirip ikan juga dapat digunakan sebagai sumber data untuk identifikasi karena setiap sirip suatu spesies ikan memiliki jumlah yang berbeda dan hal ini disebabkan oleh evolusi.

Sirip pada ikan terdiri dari beberapa bagian yang dinamakan sesuai dengan letak sirip tersebut berada pada tubuh ikan, yaitu :

  1. Pinna dorsalis (dorsal fin)

Adalah sirip yang berada di bagian dorsal tubuh ikan dan berfungsi dalam stabilitas ikan ketika berenang. Bersama-sama dengan pinna analis membantu ikan untuk bergerak memutar.

  1. Pinna pectoralis (pectoral fin)Adalah sirip yang terletak di posterior operculum atau pada pertengahan tinggi pada kedua sisi tubuh ikan. Fungsi sirip ini adalah untuk pergerakan maju, ke samping dan diam (mengerem).

  2. Pinna ventralis (ventral fin)Adalah sirip yang berada pada bagian perut. ikan dan berfungsi dalam membantu menstabilkan ikan saat berenang. Selain itu, juga berfungsi dalam membantu untuk menetapkan posisi ikan pada suatu kedalaman.

  3. Pinna analis (anal fin)Adalah sirip yang berada pada bagian ventral tubuh di daerah posterior anal. Fungsi sirip ini adalah membantu dalam stabilitas berenang ikan.

  4. Pinna caudalis (caudal fin)Adalah sirip ikan yang berada di bagian posterior tubuh dan biasanya disebut sebagai ekor. Pada sebagian besar ikan, sirip ini berfungsi sebagai pendorong utama ketika berenang (maju) clan juga sebagai kemudi ketika bermanuver.

  5. Adipose finAdalah sirip yang keberadaannya tidak pada semua jenis ikan. Letak sirip ini adalah pada dorsal tubuh, sedikit di depan pinna caudalis

Selasa, 09 Maret 2010

Apa maksudnya? Frasa di atas merupakan gabungan antara dua bidang yang dipelajari di Teknik Fisika, yaknik tomografi, yang berkaitan dengan pencitraan dengan memanfaatkan irisan (slice) dari suatu benda, serta akustik, yang berkenaan dengan fenomena gelombang suara. Istilah tomografi sudah sangat terkenal dalam dunia medis dan aplikasi seismik. Metode pemrosesannya berdasarkan pada definisi beberapa irisan dari objek di mana inverse problem dipecahkan. Integrasi dari solusi yang diperoleh di masing-masing irisan menyediakan citra yang diperlukan untuk aplikasi khusus.

Tomografi akustik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai proses pencitraan tidak langsug (nondirect imaging) dengan memanfaatkan gelombang akustik sebagai iluminatornya. Dalam tulisan kali ini akan dibahas mengenai tomografi akustik lautan, salah satu teknik yang digunakan untuk melakukan pencitraan interior dari dasar laut. Teknik ini diperkenalkan oleh Munk dan Wunsch pada tahun 1979.

Mengapa digunakan gelombang akustik?
Untuk mendapatkan gambar dari laut seperti bentuk dari lantai laut, kita harus melakukan iluminasi atau iradiasi dengan radiasi yang tepat. Untuk mendapatlan radiasi tersebut kembali, absorpsi oleh lingkungan haruslah kecil. Dalam membandingkan absorpsi dari berbagai tipe radiasi oleh air laut sering digunakan istilah kedalaman penetrasi (penetration depth). Pada kedalaman referensi ini 9/10 dari energi iradiasi awal diserap dan hanya 1/10 yang tersisa untuk penetrasi yang lebih dalam. Pada dua kali kedalaman ini, 9/10 dari energi yang tersisa ini diserap dan begitu selanjutnya. Kedalaman penetrasi yang dalam berarti irradiasinya semakin baik.
Gambar 1. Kedalam penetrasi dari berbagai gelombang di dalam air lautte

Dari grafik di atas dapat kita lihat bahwa gelombang akustik dengan frekuensi 100 Hz merupakan iluminator yang memiliki kedalaman penetrasi paling baik dibandingkan dengan yang lainnya.

Dalam tomografi akustik lautan informasi terpenting yang diperlukan adalah struktur temperatur darilautan, terkadang berhubungan dengan struktur arus di tempat yang sama. Jenis informasi ini pada umumnya merupakan informasi yang diperlukan oleh oseanografer untuk menurunkan informasi yang diperlukan dalam proses oseanografik, atau sebagai input dari suatu model numerik untuk melakukan prediksi. Tomografi akustik lautan memanfaatkan fakta bahwa properti akustik yang dapat diukur seperti waktu tempuh, fasa atau bahkan medan suara berhubungan langsung dengan temperatur dan kecepatan arus dari lautan. Penurunan profil temperatur dan profil kecepatan arus laut merupakan tujuan utama dari tomografi akustik lautan. Prinsip tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2: Prinsip tomografi akustik lautan

Eksperimen tomografi akustik lautan melibatkan adalanya sumber suara dan stasiun penerima. Sebuah sumber sinyal mengirimkan suatu sinyal yang diketahui dan sebuah stasiun penerima mendefinsikan satu pasang tomografik. Dalam banyak kasus stasiun penerima terdiri dari satu hidrofon (mikrofon yang digunakan di dalam air) atau array vertikal dari beberapa hidrofon dan alat perekam sehingga menghasilkan suatu irisan vertikal di dalam air laut. Citra 3 dimensi dari lingkungan yang ditinjau dapat diperoleh dengan mengombinasikan beberapa irisan vertikal yang diukur di tempat berbeda.
Gambar 3: Salah satu teknik pengambilan data dalam tomgrafi akustik lautan

Forward Propagation Modelling
Suatu inverse problem umum didefinisikan dengan suatu hubungan antara pengukuran dan parameter yang ingin diperoleh. Karena pengukuran merupakan hal yang umum, hubungan yang sebenarnya didefiniskan berdasarkan data d yang diturunkan dari pengukuran, bergantung dari metode yang digunakan, serta parameter m yang ingin diperoleh (rekonstruksi) kembali. Hubungan antara keduanya mungkin saja sangat kompleks dan secara umum memiliki bentuk persamaan:
Cara inverse problem didefinisikan bergantung pada pemodelan dari forward problem yang bersangkutan. Titik awal dari forward acoustic propagation modelling berdasar pada persamaan Helmholtz untuk tekanan akustik yang dituliskan dalam bentuk:
dengan c merupakan kecepatan suara, w adalah kecepatan sudut dan ~x0 merupakan vektor posisi dari sumber. Masalah ini kemudian dilengkapi dengan memberlakukan kondisi batas yang sesuai. Ketika sumber yang digunakan memiliki pita frekuensi yang lebar, dapat digunakan transformasi Fourier (invers) dari domain frekuensi untuk merepresentasi medan akustik di dalam domain waktu.

Ray Inversion
Ide dasar untuk menyelesaikna inverse problem dari akustik tomografi lautan berdasarkan pada asumsi bahwa lingkungan referensi (keadaan lingkungan background) selalu diketahui dan lingkungan aktualnya berbeda dengan lingkungan referensi. Lingkungan background normalnya merupakan suatu nilai rata-rata sehingga dapat dituliskan:
Persamaan tersebut dapat dilinearisasikan terhadap keadaan lingkungan dan mengasumsikan bahwa tidak ada arus pada daerah eksperimen tomografi akustik, variasi waktu tempuh \delta \tau_n sepanjang sinar tertentu \Gamma_n didefinisikan untuk lingkungan referensi melalui rumus
Dengan analisis lebih lanjut dapat diformulasikan inverse problem-nya dalam bentuk persamaan:
Informasi lebih lanjut mengenai formulasi matematis dari inverse problem dalam tomografi akustik lautan dapat dilihat pada referensi [1]. Secara sederhana prinsip ray acoustics dalam tomografi akustik lautan dapat dijelaskan dalam gambar berikut:
Gambar 4. Prinsip ray acoustics

Berapa sifat akustik lautan yang harus diperhatikan
Perambatan suara di lautan pada dasarnya berbeda dengan suara di medium yang lain. Akibat adanya anomali air, suara dengan frekuensi yang rendah dapat merambat sepanjang lautan dengan absorpsi paling kecil di bandingkan dengan gelombang mekanikal yang lain.

Kecepatan rambat suara di laut bernilai sekitar 1500 m/s, atau sekitar 4.5 kali nilai kecepatan suara di atmosfer. Nilai ini lebih besar lagi pada beberapa tempat di dasar laut seperti batu granit, batu kapur, atau batuan yang ada di interior laut yang lain yakni sekitar 5000 m/s. Pada dasarnya kecepatan suara di sembarang fluida bergantung pada dua kuantitas fisik, yakni: densitas dan kompresibilitas. Densitas dan kompresibilitas pada umumnya akan menghasilan kecepatan suara yang lebih kecil. Terdapat beberapa karakterisktik lautan yang mempengaruhi kompresibilitas di antaranya tekanan statik (atau kedalaman), salinitas (kadar garam) dan temperatur.

Karakteristik akustik lain yang harus diperhatikan adalah noise akustik di lautan. Noise bersama dengan berkurangnya intensitas sinyal menentukan apakah citra yang dihasilkan dengan tomografi akustik lautan memiliki kualitas yang baik atau tidak. Oleh sebab itu sangat penting untuk membedakan antara sinyal akustik yang diinginkan dengan noise yang mungkin muncul. Biasanya agar dihasilkan kualitas yang baik, pengukuran yang dilakukan harus memiliki signal to noise ratio bernilai sekurang-kurangnya 10 dB. Beberapa sumbe noise yang di antaranya disebabkan oleh lalu lintas kapal. Noise ini biasanya mendominasi pada frekuensi sampai beberapa ratus Hz. Selain itu noise juga dapat dihasilkan oleh adanya hujan. Curahan hujan yang lebat dapat memberikan noise sampai beberapa kHz sampai ke daerah ultrasonik. Sumber noise yang lain adalah noise-noise yang disebabkan oleh angin. Noise jenis ini biasanya lebih kompleks mekanismenya.

Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengendalikan noise tersebut diantaranya adalah dengan menggunakan filter spatial yang biasanya sangat menentukan pencitraaan dengan resolusi tinggi. Dengan filter ini, acoustic receiver hanya menerima sinyal yang berasal dari arah tertentu saja dan menahan sinyal yang berasal dari arah yang lain. Dalam aplikasinya kita harus menggunakan sumber suara yang memiliki directivity yang sangat sempit. Jenis filter lain yang dapat digunakan adalah filter frekuensi yang hanya melewatkan sinyal dengan frekuensi tertentu saja. Dalam menggunakannnya tentu saja kita harus mengetahui dengan baik karakteristik noise yang ingin kita hambat.

Referensi
  1. Taroudakis, Michael I. 2002. “Ocean Acoustic Tomography” dalam Lecture Notes of the Tutorial Course For Young Acousticians from European Countries 23-24 June 2002, Gdansk, Poland.
  2. Chepurin, Yu. A. 2000. “Experiments on Underwater Acoustic Tomography” diterbitkan dalam Acoustical Physics, 2007, Vol. 53, No. 3, pp. 393–416. Pleiades Publishing, Ltd., 2007.
  3. Wille, Peter C. 2005. Sound Images of the Ocean in Research and Monitoring. Berlin: Springer-Verlag Heidelberg.
  4. Munk, Walter. Ocean Acoustic Tomography From a Stormy Start to an Uncertain Future.
  5. Dushaw, Brian D. dan John A. Colosi. 1998. Ray Tracing for Ocean Acoustic Tomography. Applied Physics Laboratory University of Washington.

Jumat, 05 Maret 2010

Kamis, 04 Maret 2010

sail bunaken di manado

Semangat kemerdekaan pun ter lihat di pantai Malalayang Manado dengan meriah, kenapa tidak untuk menyambut hari ulang tahun RI yang ke 64 tahun tersebut di peringati oleh ribuan orang dan lebih menarik lagi orang yang memperingatinya tersebut merupakan peyelam penyelam yang datang dari seluruh pelosok indonesia bahkan penyelam dari mancanegara. Selain kegiatan memperingati HUT RI tersebut Indonesia mendapat dan mencetak rekor dunia penyelaman masal terbanyak.

Sebanyak 2.468 penyelam menyelam secara bersamaan untuk memperingati hari kemerdekaan indonesia itu, acara tersebut di siarkan oleh salah satu stasion tv secara live dari dasar laut pantai malalayang tersebut. Untuk penyelamannya dilakukan di kedalaman 18 sampai 20 m, kemudian untuk menghindari kerusakan ekosistem di dalam laut tersebut panitia memilih tempat yang menurut saya sangat baik, dimana substrat yang berpasir dan visibiliti yang bagus.

Juri Guinness Book of Records asal Inggris Lucia Sinigagliesi juga turut menyaksikan pergelaran spektakuler itu. Inspektur upacara adalah Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Wakasal) Laksamana Madya Moeklash Sidiq. Adapun komandan upacara adalah Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama Iskandar Sitompul.


terumbu karang dikala hujan

Musim Hujan Tiba, Bagaimana Nasib Terumbu Karang Kita?!

Pada bulan Januari-Februari setiap tahun merupakan bulan-bulan basah dengan curah hujan yang sangat tinggi. Debit air sungai meningkat tajam bahkan telah membawa material tanah yang sudah tidak mampu menahan kejenuhan air hingga banyak terjadi peristiwa longsor di beberapa tempat di tanah air yang memakan korban. Bencana banjir terjadi dimana-mana terutama di daerah pesisir. Tingginya material tanah yang terbawa oleh sungai hingga wilayah pesisir menyebabkan warna air laut di pantai menjadi coklat kemerahan. Keadaan ini sering terjadi di perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang yang masih baik di Pantura Jawa Tengah seperti di Jepara dan Rembang. Pasokan air tawar akibat banjir tersebut berpotensi menurunkan salinitas perairan sehingga air menjadi payau (mencapai kurang dari 20 ‰) dan kandungan sedimen meningkat sehingga berakibat mengurangi kejernihan perairan. Kandungan sedimen perairan di Teluk Awur, Jepara pada satu dekade lalu dilaporkan mencapai 12,2 mg/l pada jarak sekitar 500 m dari garis pantai. Seiring dengan meningkatnya pembangunan utamanya dengan jalan membuka lahan baru dan mengkonversi lahan akan menambah beban perairan hulu di pesisir dan mempengaruhi kondisi terumbu karang.

Penurunan salinitas di bawah salinitas air laut normal (32-35 ‰) dan peningkatan kandungan sedimen/ kekeruhan mengakibatkan stress pada hewan karang. Awalnya, perubahan kualitas perairan tersebut akan menurunkan potensi reproduksi karang sehingga dapat mengurangi keanekaragaman jenis karang. Hanya jenis karang yang kuat dan tahan terhadap perubahan kualitas air tersebut masih ditemukan dan dominan, seperti karang masif dari famili Poritiidae dan Faviidae. Selanjutnya, pengaruh perubahan kualitas air ini dapat mengurangi persen tutupan karang sehingga luas terumbu karang di suatu lokasi dapat berkurang secara signifikan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh penurunan keanekaragaman jenis karang di perairan P. Panjang, Jepara dan sudah jarang ditemukan terumbu karang yang sehat di Teluk Awur, Jepara.

Kejadian ini seharusnya menjadi perhatian kita bersama utamanya insan kelautan untuk turut serta mencegah pengurangan luas terumbu karang di Indonesia. Pembangunan wilayah pesisir seharusnya dilakukan secara komprehensif. Manajemen daerah hulu dan hilir seharusnya menjadi kesatuan yang utuh dan memerlukan perhatian melalui interdisipliner. Kajian serius yang melibatkan pakar-pakar di bidangnya merupakan suatu keharusan terutama menyangkut akibat kelestarian lingkungan laut yang merupakan akhir buangan dan tong sampah dari aktivitas manusia di wilayah hulu. Mengingat pentingnya peranan laut untuk kehidupan manusia baik sebagai penentu iklim dan sumber pangan masa depan. (Dr. Ir. Munasik, M.Sc)

pemanasan global

Jakarta (ANTARA News) - Sebelum merebaknya isu pemanasan global, di kalangan ilmiah dipahami bahwa air laut merupakan penyerap karbon (carbon sink).

Namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai hasil dari berbagai riset tentang pemanasan global dan dampaknya, muncul pemahaman baru bahwa laut tak lagi sebagai penyerap karbon, melainkan sudah berada pada posisi sebagai penghasil karbon bersih (net carbon source).
Sesungguhnya laut dapat berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink) dan juga sebagai penyedia karbon (carbon source) ke atmosfer, tergantung kondisinya.

Karbon yang diserap maupun yang dilepas ke atmosfer berada dalam bentuk gas karbon dioksida (CO2). Laut akan menyerap karbon bilamana tekanan parsial gas karbon dioksida di atmosfer lebih tinggi dari tekanannya di dalam air laut.

Sebaliknya, laut akan melepas karbon apabila tekanan parsial gas karbon dioksida di dalam air laut lebih tinggi dari tekanannya di atmosfer. Laut berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink) dalam dua bentuk yakni melalui serapan pasif dan aktif.

Pada serapan aktif, fitoplankton (tumbuhan mikro yang berada di kolom zona cahaya air laut) dengan kandungan klorofilnya dan bantuan sinar matahari memanfaatkan gas karbondioksida untuk proses fotosintesis dan menghasilkan gula (karbohidrat) (H2O + CO2 + cahaya + klorofil ----> C6H12O6 + 6O2).

Sedangkan pada serapan pasif, gas karbondioksida akan larut dalam air laut secara alami dengan mudah dan cepat serta membentuk asam karbonat (H2O + CO2 ----> H2CO3).
Reaksi bolak-balik dalam proses ini juga berlangsung dengan cepat sehingga sulit membedakan antara asam karbonat dan karbondioksida dalam air. Air laut yang dingin serta banyak pergolakan (turbulent) cenderung menyerap karbondioksida dari atmosfer sementara air laut yang lebih hangat serta pergerakan airnya yang lebih tenang cenderung melepas karbondioksida ke atmosfer.

Pada awal tahun 1990-an, laut diduga sebagai suatu net carbon sink dengan Lautan Atlantik Utara sebagai penyerap terbesar sekitar 60% dari total laut dunia. Proses pertukaran gas karbondioksida secara pasif kurang penting dibandingkan dengan proses pertukaran secara aktif.

Proses fotosintesis merupakan aktivitas carbon sink sebaliknya proses respirasi (penguraian gula menjadi zat lain untuk menjalankan metabolisme tubuh) oleh organisme lainnya di laut, merupakan aktivitas carbon source.

Fitoplankton merupakan alga hijau berukuran mikroskopik dan berkembang dengan cepat dalam kolom air laut pada kondisi lingkungan dan unsur hara yang cukup.

Dengan demikian, perairan dengan populasi fitoplankton yang baik akan bekerja efektif sebagai carbon sink. Sebaliknya, bila proses respirasi oleh semua komunitas mahluk hidup di kolom air laut melebihi proses fofosintesis, maka kondisinya menjadi carbon source.

Bilamana laju proses fotosintesis lebih besar dari laju respirasi yang pada kondisi normal terjadi di laut maka net carbon sink akan terjadi dan sebaliknya pada kondisi tidak normal menjadi net carbon source.

Secara teori, apabila populasi fitoplankton di laut makin meningkat maka penyerapan gas karbondioksida dari atmosfer juga meningkat sehingga laut bisa menjadi carbon sink.

Pada tahun 1980-an, John Martin seorang ahli oseanografi dari Moss Landing Marine Laboratories (telah meninggal tahun 1993) mengatakan bahwa penambahan zat besi ke perairan yang cukup unsur hara namun kurang zat besi akan merangsang pertumbuhan fitoplankton.

Hipotesis ini telah terbukti kebenarannya. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan hal yang sama yaitu dengan penambahan zat besi ke dalam perairan di Laut Selatan menunjukkan perkembangan fitoplankton yang nyata dan tingkat penyerapan gas karbondioksida juga meningkat signifikan dari atmosfer (Watson et al, 2000; Watson, 1997).

Pada tahun 1988, John Martin menyarankan bahwa penambahan zat besi buatan ke laut dapat merobah iklim dunia dalam artian mengurangi gas CO2 dari atmosfer secara nyata.

Namun demikian para ilmuwan banyak yang tidak setuju dengan cara seperti itu sebagai upaya untuk mengurangi gas karbondioksida di atmosfer karena beberapa faktor antara lain faktor moral dan dampak pencemaran lingkungan sebagai ekses dari zat besi itu sendiri mengingat zat ini adalah logam berat.

Tood Wood, Christopher Guay, dan Phoebe Lam (2009) dari Laboratorium Lawrence Nasional Berkeley juga menemukan bantahan terhadap hipotesis John Martin bahwa penambahan zat besi ke laut tidak akan merobah iklim dunia.
Penelitian mereka dengan proyek SOFeX (the Southern Ocean Iron Experiment) dilaksanakan mulai 2002 di perairan antara New Zealand dan Antartika dengan menggunakan alat deteksi carbon explorer pada kedalaman 800 meter serta menguji hipotesis apakah penambahan zat besi ke perairan akan merobah iklim dunia.

Dari penelitian ini diperoleh hasil mengejutkan bahwa sebagian besar karbon dari hasil blooming fitoplankton hasil penambahan zat besi tersebut tidak pernah sampai ke perairan dalam (deep ocean).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sekalipun terjadi blooming fitoplankton sebagai akibat penambahan zat besi namun tidak berpengaruh nyata terhadap absorpsi gas CO2 dari atmosfer karena tidak terjadi presipitasi karbon ke laut yang lebih dalam secara nyata.

Di lain pihak, peningkatan penyerapan gas CO2 secara alami oleh air laut seyogianya tidak menguntungkan karena hal ini akan meningkatkan derajat keasaman (pH) air laut.
Bila derajat keasaman air laut meningkat maka hal ini akan menggangu kehidupan organisma laut lainnya terutama ikan.

Pemanasan Global

Pemanasan global yang terjadi belakangan ini sebagai akibat meningkatnya emisi gas karbon ke atmosfer telah mengakibatkan peningkatan suhu udara maupun suhu air laut secara nyata.

Hal yang lebih penting dari dampak pemanasan global adalah meningkatnya suhu air laut yang mengakibatkan kemampuan air laut untuk menyerap gas karbondioksida menjadi berkurang. Gas karbondioksida mempunyai tingkat kelarutan dua kali lebih besar pada air dingin dibandingkan dengan air hangat. Laju fotosintesis dan respirasi juga sangat tergantung pada suhu.

Pada suhu yang relatif tinggi, laju fotosintesis dan laju respirasi sama-sama meningkat namun laju respirasi meningkat lebih cepat dibandingkan dengan laju fotosintesis sehingga pelepasan gas karbondioksida menjadi lebih besar dibandingkan dengan penggunaannya dan menyebabkan laut menjadi net carbon source.

Hasil penelitian Lefe`vre et al. (2004) di Lautan Atlantik Utara menunjukkan bahwa tekanan parsial gas karbondioksida dalam air laut telah meningkat lebih cepat dibandingkan dengan tekanan parsialnya di atmosfer khususnya pada saat musim panas yang mengakibatkan peningkatan pelepasan gas karbondioksida ke atmosfer, padahal sebelumnya daerah ini dikenal sebagai net carbon sink.

Hal yang sama juga ditemukan oleh CNRS (2009) di Lautan Hindia Selatan. Le Quere et al. (2007) juga menyimpulkan bahwa penyerapan gas karbondioksida oleh Lautan Selatan telah melemah sebesar 15% per dekade semenjak 1981 dan akan menjadi kurang efisien pada masa depan.
Hal ini akan membawa gas karbondioksida ke level yang semakin tinggi untuk jangka panjang. Pengurangan efisiensi penyerapan gas karbondioksida oleh Lautan Selatan disebabkan oleh peningkatan kekuatan angin sebagai akibat dari peningkatan gas rumah kaca di atmosfer dan pengurangan lapisan ozone jangka panjang di stratosfer.

Peningkatan kekuatan angin ini akan menyebabkan proses percampuran dan penaikan massa air laut dalam ke permukaan (upwelling) yang pada akhirnya meningkatkan pelepas gas CO2 ke atmosfer. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa lokasi upwelling cenderung menjadi lokasi net carbon source.

Carbon Source

Alan Koropitan (dosen Institut Pertanian Bogor/IPB) telah melakukan penelitian di Laut Jawa dan menyimpulkan bahwa Laut Jawa cenderung berfungsi sebagai net carbon source.

Hasil ini juga didukung dengan hasil penelitian lainnya yang dilakukan di beberapa lokasi perairan Indonesia. Menurut para ahli terumbu karang dan pemanasan global bahwa ekosistem terumbu karang juga berfungsi sebagai net carbon source.

Salah satu misi projet SeaWiFS Ocean Color Satellite adalah untuk menjawab pertanyaan apakah laut berfungsi sebagai carbon sink atau carbon source. Dari hasil analisa data konsentrasi klorofil-a selama 10 tahun terakhir tidak ditemukan adanya peningkatan konsentrasi klorofil-a secara global namun sebaliknya ditemukan penurunan konsentrasi klorofil-a yang nyata khususnya di laut lepas sub-tropik (mid-gyres ocean) Vantrepotte and Melin (2009).

Hasil analisis Jonson Lumban Gaol (dosen IPB) terhadap data SeaWiFS untuk perairan Indonesia 10 tahun terakhir, juga menunjukkan tren penurunan konsentrasi klorofil-a khususnya laut lepas (personal communication).

Hasil-hasil itu menunjukkan, secara umum, baik perairan Indonesia maupun perairan dunia, mengalami penurunan konsentrasi klorofil-a yang mengakibatkan penurunan penggunaan gas CO2 oleh fitoplankton dalam proses fotosintesis.

Kecenderungan penurunan konsentrasi klorofil-a serta pemanasan global yang mengakibatkan penurunan tingkat kelarutan gas CO2 dalam air laut itu dapat disimpulkan bahwa baik perairan Indonesia maupun global cenderung berfungsi sebagai net carbon source.

*) Dosen di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB.
COPYRIGHT © 2009 ANTARA
PubDate: 12/05/09 15:32;